Pemerintah Indonesia didesak untuk segera membangun sistem data khusus guna mengatur pembagian royalti karya musik secara adil.
Hafez Gumay, Manajer Advokasi dari Koalisi Seni Indonesia (KSI), menekankan perlunya “bank data” yang mencatat pencipta lagu dan informasi penting lainnya terkait hak cipta.
Menurutnya, tanpa adanya data yang terstruktur, pembagian royalti bagi musisi lokal sering kali berantakan dan tak sampai kepada pihak yang berhak.
Dikutip Freentalkcom dari ANTARA, dalam diskusi publik di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Sabtu 2 November 2024, Hafez menyoroti bagaimana Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), yang saat ini bertanggung jawab dalam mengelola hak ekonomi pencipta lagu, masih belum mampu memastikan pembagian royalti dengan akurat.
LMK, yang mengumpulkan royalti dari pemutaran karya musik di ruang publik, sering kali menghadapi kendala besar karena minimnya data mengenai pemilik hak cipta asli dari karya-karya tersebut.
“Royalti ini dipungut tanpa pandang bulu kan, begitu membagi (royalti karya musik), Lembaga Manajemen Kolektif ini nggak punya data siapa yang dapat berapa persen,” ungkap Hafez.
Hal ini, lanjutnya, menjadi masalah karena royalti yang telah terkumpul sering kali tidak disalurkan ke tangan pencipta yang berhak, mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian hak cipta.
Meski Indonesia sudah memiliki lembaga yang bertugas mengelola hak cipta, nyatanya pelanggaran hak cipta musik masih sering terjadi.
Salah satu penyebabnya adalah data pencipta yang belum tercatat secara komprehensif di LMK.
Hal itu tak hanya merugikan pencipta lagu tetapi juga menghambat pertumbuhan industri musik lokal.
Para pencipta musik, terutama yang belum terdaftar di LMK, terancam kehilangan hak moral dan ekonomi mereka.
Hafez menambahkan bahwa, sementara ini, pencipta lagu bisa mengantisipasi masalah tersebut dengan mendaftarkan diri dan karya mereka ke LMK.
Dengan pendaftaran ini, LMK bisa memastikan pencipta mendapatkan hak ekonomi dan moral dari karya yang telah mereka buat.
Meski begitu, dia tetap menilai sistem yang ada saat ini masih jauh dari memadai, mengingat ketidakteraturan dalam pengelolaan data pencipta.
Menanggapi situasi ini, Hafez mendesak pemerintah untuk segera membangun sistem data yang lebih mumpuni, yang dapat menyimpan data musisi lokal dan karya-karya mereka.
Tanpa adanya data yang komprehensif, pembagian royalti dari karya musik sulit dilakukan secara adil.
Hafez menyarankan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah serius agar royalti dari setiap karya musik yang digunakan di ruang publik benar-benar jatuh ke tangan pencipta yang berhak.
“Untuk mendapatkan hak (pencipta lagu) yang sudah terkumpul oleh LMK, misalnya musisi tahun 70-an yang lagunya tiba-tiba populer, dan LMK sebenarnya sudah menyisihkan sebagian royalti untuk mereka, maka pencipta lagu perlu mendaftarkan diri,” kata Hafez.
Sebagai gambaran, hak cipta dari suatu karya musik di Indonesia berlaku seumur hidup pencipta lagu ditambah 70 tahun setelah kematian mereka.
Dengan adanya sistem data yang kuat, royalti dari karya musik lawas yang mendadak populer dapat diurus dengan tepat, sehingga hak cipta tetap bisa diberikan kepada ahli waris atau keluarga pencipta.
Menariknya, Hafez juga menekankan bahwa jika dalam dua tahun tak ada klaim dari pencipta atau ahli waris, royalti dari sebuah karya musik dapat dialokasikan untuk kepentingan lain oleh LMK.
Misalnya, digunakan untuk kampanye kesadaran hak cipta atau mendukung musisi yang royaltinya dinilai terlalu rendah.
Sistem ini, di satu sisi, berusaha mengoptimalkan manfaat royalti bagi musisi yang membutuhkan.
Namun, ketidakjelasan data sering kali membuat pencipta asli karya tersebut tak kunjung menerima hak mereka, sebuah ironi di tengah upaya untuk menghormati hak cipta.
“Kalau si pencipta lagu ini sudah meninggal, maka pemberian hak ciptanya akan diberikan kepada keluarga, orang tua, saudara kandung, atau pihak yang telah diberikan wewenang,” tambah Hafez.
Namun, dengan sistem yang ada saat ini, banyak pencipta dan ahli waris yang tak tahu hak mereka masih bisa diklaim, terutama untuk karya-karya lama yang mendadak viral.
Desakan Hafez ini menjadi pengingat penting bahwa dunia musik Indonesia, yang kaya akan talenta lokal, membutuhkan perhatian lebih dari segi perlindungan hak cipta.
Data adalah kunci, dan dengan bank data yang rapi, royalti yang terkumpul dapat disalurkan dengan tepat, sehingga pencipta karya benar-benar mendapat apresiasi yang mereka layak.***
Editor: Hadi Jakariya
Sumber: ANTARA