Sebagai sebuah keniscayaan, nuansa keberagaman itu terlihat pula dalam pola gerak dan corak idealisme pada generasi muda yang memiliki peran penting terhadap keberlangsungan bangsa ini di masa lampau, sekarang, dan masa depan.
Peran pemuda mengalami pasang surut dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun efek domino peristiwa maha-penting “Sumpah Pemuda” dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 menjadi inti landasan dan pedoman bagi para pemuda untuk terus meluaskan dampak keberadaannya dalam suatu masa.
Sumpah Pemuda meletakkan pernyataan atas kesadaran nasionalisme. Secara tekstual, perasaan itu tertulis dalam keinginan persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa.
Namun, secara kontekstual peristiwa itu merupakan ekspresi kolektif pemuda untuk meneguhkan sebuah cita-cita tentang kedaulatan dan kemerdekaan.
Kegelisahan dan kekhawatiran pemuda merupakan pendulum yang membayangi bergerak atau tidaknya sebuah negara. Kekhawatiran pemuda seharusnya menjadi rujukan tertinggi perumusan kebijakan negara karena pemuda yang mampu mengekspresikan kebutuhan masyarakat kepada kekuasaan.
Mungkin akan berbeda alur ceritanya, jika pada detik-detik proklamasi, kegelisahan dan kekhawatiran kaum muda tidak teraktualisasi dengan penculikan Bung Karno dan Bung Hatta guna mengumandangkan pernyataan kemerdekaan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa menghiraukan Jepang yang notabene sudah kalah akibat hancurnya Hiroshima dan Nagasaki.
Tentu rangkaian semangat 45 secara sadar mengilhami berbagai generasi di seluruh penjuru nusantara. Seperti yang dilakukan oleh kelompok pemuda yang dimotori oleh Kanda Lafran Pane di kampus Universitas Islam Indonesia, di Daerah Istimewa Yogyakarta, didirikanlah sebuah organisasi mahasiswa bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947.
Didirikannya HMI pada mulanya bertujuan untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Dalam “Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa, Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997)” karya Kanda Agussalim Sitompul mengatakan bahwa perkembangan zaman dirasa perlu untuk meneguhkan komitmen keumatan dan kebangsaan HMI yang ditegaskan dalam konstitusi HMI pada pasal 4 yang berbunyi “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertangung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”.
Usia HMI yang hanya terpaut dua tahun dari kemerdekaan Indonesia, HMI tentu ikut mengiringi perjalanan perjuangan bangsa sampai hari ini. Oleh karena itu, presiden menggunakan haknya sesuai pasal 15 UUD 1945 untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada Kanda Lafran Pane, berkat jasanya terhadap bangsa dan negara terutama mempertahankan kemerdekaan yang tidak lepas dari nilai keislaman dan keindonesiaan melalui organisasi HMI yang didirikannya.
Era disrupsi teknologi hari ini menyeret pemuda untuk beradaptasi dan mampu membaca realitas zaman. Bagai dua sisi mata uang, transformasi kehidupan berbasis teknologi jelas menunjukkan kebermanfaatan. Juga disisi lain melahirkan berbagai kompleksitas masalah yang mengiringinya.
Disrupsi ini kemudian melahirkan berbagai model perilaku dan pola interaksi manusia dalam kemudahan dunia digital. Termasuk perilaku mahasiswa, atmosfer gerakan mahasiswa, dan iklim intelektual yang dipengaruhi karena percepatan perubahan zaman.
Tsunami perubahan zaman tersebut dalam konteks arah gerak HMI menggiring kader-kader HMI untuk cakap dalam memanfaatkan kemajuan peradaban sebagai penunjang komitmen keumatan dan kebangsaan secara bermartabat. Mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman serta tetap mempertahankan tradisi intelektual mahasiswa yang bernafaskan islam.
Hari ini banyak sekali masalah yang kemudian memberi kesimpulan tentang terjadinya suatu keadaan dekadensi gerakan mahasiswa akibat globalisasi yang merubah pola interaksi mahasiswa. Sehingga, mahasiswa hari ini cenderung kehilangan sense of crisis atau perasaan yang sama terhadap dampak suatu krisis multinasional dan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi di dalam negeri.
Kongres XXXII HMI di Pontianak harus disepakati sebagai sebuah marching kemajuan dan kesadaran bersama bahwa HMI tidak berdiri di ruang hampa. Sebagai suatu kesepakatan untuk menegaskan bahwa HMI siap menjadi mitra-kritis pemerintah guna menyambut Generasi Emas 2045, menghantarkan Indonesia menjadi negara maju melalui tradisi dan tanggungjawab kader-kadernya terhadap suatu cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Lebih jauh dari hanya memilih ketua umum dan struktur baru didalam tubuh organisasi, Kongres HMI di Pontianak merupakan momentum pertarungan serta pertaruhan generasi HMI yang bermartabat dan bernilaikan keislaman dan keindonesiaan.
Generasi HMI yang peka melihat dan mengawasi berjalan atau tidaknya program pengentasan stunting dalam masyarakat. Generasi yang bukan hanya mampu beradaptasi terhadap kemajuan teknologi dan informasi namun menjadi aktor dalam menyongsong Society 5.0. Generasi HMI yang aktif menyuarakan aspirasi masyarakat, demokratisasi, dan dapat menjadi problem solver untuk pemerintah dan suatu generasi HMI yang memiliki komitmen tegas untuk menjembatani kesenjangan sosial sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Generasi yang memahami perbedaan sebagai sebuah konsensus deliberasi, melihat suatu kontestasi kompetisi dengan riang gembira, sebagai sebuah ajang untuk menguji ide dan idealisme, gagasan, rekam jejak, dan keinginan kuat untuk bersama-sama menjadikan organisasi HMI yang bermartabat.***
Tidak ada komentar