Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang mewah menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Namun, kebijakan ini memunculkan pertanyaan tentang definisi barang mewah yang dimaksud.
Achmad Nur Hidayat, ekonom sekaligus pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, mendesak pemerintah untuk memperjelas batasan barang yang masuk dalam kategori mewah.
Menurutnya, definisi yang tidak jelas berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, khususnya kelas menengah.
“Pemerintah harus menetapkan batasan yang jelas mengenai barang apa saja yang termasuk dalam kategori mewah. Hal ini penting untuk menghindari kesalahan pengenaan pajak pada barang yang sebenarnya merupakan kebutuhan bagi masyarakat menengah,” ujar Achmad, dilansir dari Antara, Selasa 9 Desember 2024.
Achmad mencontohkan barang elektronik berkualitas tinggi yang sering digunakan kelas menengah untuk kebutuhan pekerjaan.
Jika barang ini dikategorikan sebagai barang mewah, maka mereka akan semakin sulit mengakses alat yang sebenarnya dapat meningkatkan taraf hidup.
“Akibatnya, kebijakan ini justru memperlebar kesenjangan digital dan ekonomi,” tambahnya.
Tak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa kenaikan PPN pada barang mewah bisa memberikan dampak luas melalui efek limpahan (spillover effect).
Kenaikan harga barang terkait barang mewah, seperti kendaraan bermotor, bisa memengaruhi biaya logistik dan transportasi, yang pada akhirnya membuat harga kebutuhan pokok ikut naik.
“Ketika barang-barang yang terkait dengan barang mewah mengalami kenaikan harga, biaya hidup secara keseluruhan juga meningkat. Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi biaya logistik dan transportasi barang kebutuhan pokok,” jelasnya.
Achmad merekomendasikan agar pemerintah menerapkan tarif pajak progresif berdasarkan nilai barang. Dengan pendekatan ini, barang dengan nilai lebih tinggi dikenakan tarif yang lebih besar. Kebijakan ini dianggap lebih adil dan tidak terlalu membebani kelas menengah ke bawah.
Ia juga mendorong pemerintah untuk memberikan insentif kepada produsen lokal agar bisa menyediakan barang serupa dengan harga yang lebih terjangkau.
Tak kalah penting, Achmad mengingatkan perlunya pengawasan ketat untuk mencegah potensi penyalahgunaan kebijakan, seperti kenaikan harga barang yang tidak wajar.
“Pengawasan yang ketat harus dilakukan untuk menjaga keadilan dalam penerapan pajak,” pungkasnya.***
Editor: Hadi Jakariya
Sumber: ANTARA