Minggu, 13 Okt 2024

Pernah Berjaya, Kini Gulung Tikar, 7 Perusahaan Besar Indonesia Tumbang di Tengah Sengitnya Persaingan Usaha

Hadi Jakariya
1 Okt 2024 08:54
News 0
7 menit membaca

Minat belanja masyarakat Indonesia terus mengalami kenaikan yang tentunya jadi ladang cuan bagi perusahaan-perusahaan besar yang mencoba mengekspansi pasar Indonesia. Nah, alih-alih cuan, kenyataannya banyak perusahaan yang justru meradang. Kenapa? Karena barengan dengan iklim persaingan usaha yang juga mengalami peningkatan.

Salah satu korban dari iklim persaingan usaha di Indonesia adalah PT Sepatu Bata Tbk. Padahal, bisa dibilang ya, Bata adalah merek alas kaki legendaris di Indonesia yang sudah masuk sejak zaman Hindia Belanda dan bisnisnya pun terbilang berkembang pesat.

Dikutip melalui unggahan video kanal YouTube Daftar Populer, berikut 7 perusahaan ternama di Indonesia yang tutup akibat persaingan usaha yang meningkat.

1. Sepatu Bata

Merk sepatu ini bahkan sempat mengalami masa kejayaan di Indonesia sejak 1980-an dan masih populer sampai tahun 2000-an, apalagi di kalangan anak sekolah. Harga murah, kualitas baik, dan gampang didapat jadi alasan orang beli sepatu ini.

Bahkan dulu ada istilah, kalau nggak pakai sepatu Bata dianggap ketinggalan zaman. Sayangnya, tahun demi tahun tren penjualan sepatu Bata terus mengalami penurunan, apalagi selama 45 tahun belakangan ini. Penurunannya itu nggak tanggung-tanggung, mencapai 49%, dari Rp941 miliar di tahun 2019 menjadi Rp459 miliar di tahun 2020.

Ada beberapa alasan. Pertama, dampak pandemi yang menekan daya beli masyarakat. Tapi penyebab sebenarnya sih karena kalah saing dari banyak produk lain dengan model yang lebih fresh.

Sebagai gantinya, awalnya Bata memutuskan untuk menutup beberapa gerainya. Sampai akhirnya, sepatu Bata harus menghentikan operasional pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat, per 30 April 2024. Imbasnya apa? PHK massal terjadi. Ada 275 karyawannya yang harus dirumahkan.

2. Tupperware

Untuk perusahaan yang satu ini, kita semua pasti nggak asing. Sangat akrab, ya. Bisa dibilang sangat-sangat populer di Indonesia. Bahkan, ada banyak nih ya, kalau barang ini bagi ibu-ibu lebih berharga dari suaminya. Yup, Tupperware, merek wadah makanan plastik yang jadi idola kaum ibu-ibu.

Kabarnya nih, Tupperware tengah dalam kondisi keuangan berdarah-darah dan berada di ambang kebangkrutan. Why? Ibu-ibu pasti tahu fakta ini. Selain produknya yang populer, hal yang populer dari Tupperware adalah strategi pemasarannya yang memakai skema multi-level marketing.

Tupperware memakai strategi yang dikenal dengan Tupperware party sebagai salah satu cara penjualan, ya semacam arisan Tupperware lah.

Strategi ini sangat sukses, tapi dalam dekade terakhir strategi ini tidak lagi efektif. Selain karena harganya tinggi, konsumen lebih milih produk yang lebih murah dengan kualitas yang beda-beda tipis. Dan itu nggak lagi lewat arisan, tapi langsung belanja online.

Masyarakat pun jadi cenderung membandingkan produk Tupperware dengan merek lain berdasarkan harga, sehingga produk ini nggak spesial lagi. Imbasnya apa? Penjualan jadi anjlok.

Selama tahun 2022 sampai tahun 2023, kerugian operasionalnya tercatat sebesar Rp455 miliar. Bahkan, Tupperware juga melakukan PHK ke sebagian karyawannya.

3. JD.id

Seperti yang sudah dijelaskan tadi, penyebabnya adalah berubahnya kebiasaan masyarakat selama dekade terakhir, di mana transaksi yang biasanya tatap muka jadinya berbasis online.

Makanya, e-commerce atau layanan belanja online menjamur. Yang jadi masalah nih adalah persaingan pasar di kalangan e-commerce sendiri.

Salah satu yang terkena dampak adalah JD.id, anak perusahaan JD.com, perusahaan ritel terbesar di Cina ini terpaksa harus menutup permanen layanannya sejak 31 Maret 2023.

Penyebabnya? Persaingan yang ketat di Asia Tenggara. Setidaknya ada empat saingan besar yang dianggap gagal dikalahkan oleh JD.id di Indonesia. Keempat saingan itu adalah Lazada, Alibaba Group, Shopee, dan Tokopedia.

Nah, empat perusahaan ini tidak tanggung-tanggung bakar duit dengan mengadakan promo besar-besaran untuk menarik pelanggan. Apalagi, kehadiran JD.id pun terbilang cukup terlambat karena startup e-commerce lainnya sudah menancapkan eksistensi kuat di Indonesia.

Bukan cuma di Indonesia nih, di Thailand JD.id juga pamit. Imbasnya apa? Ya, JD.id harus PHK 200an karyawannya.

4. Pegipegi

Startup yang juga mengalami shutdown adalah Pegipegi. Ini adalah platform pemesanan tiket dan hotel yang sudah beroperasi selama 12 tahun. Per tanggal 11 Desember 2023, Pegipegi memilih pamit dengan menyampaikan terima kasih untuk para pelanggan setia yang sudah memanfaatkan platformnya selama ini.

Sama dengan startup lain, Pegipegi ditutup karena banyaknya persaingan dan pendanaan yang makin menipis. Pesaing-pesaingnya seperti Traveloka, Tiket.com, sampai Agoda.

Ditambah, beberapa maskapai penerbangan dan perhotelan juga mengembangkan sendiri website ataupun platform untuk melakukan transaksi jasa mereka.

Nah, masalahnya, perusahaan-perusahaan ini cenderung menawarkan tiket ataupun hotel dengan harga yang lebih murah di beberapa kesempatan.

Bahkan juga memberikan promo dan bonus yang tentunya membutuhkan dukungan modal yang tidak sedikit. Startup OTA yang keuangannya seret seperti Pegipegi pun semakin terpuruk yang tentunya berimbas juga ke para karyawan.

Sejak tahun 2012, diketahui Pegipegi mempunyai total karyawan sekitar 200 sampai 500 orang. Penutupan layanan Pegipegi tentu saja juga berdampak langsung terhadap karyawan.

5. Zenius

Pernah dengar Zenius? Sepertinya semua orang pernah memakai aplikasi ini, mulai dari saat masih tingkat SD sampai bisa ke kampus impian.

Ya, Zenius adalah startup di bidang pendidikan yang sudah beroperasi selama 20 tahun. Kalian sudah tahu kan, startup ini mengumumkan di awal tahun 2024 memilih langkah pemberhentian sementara operasionalnya, atau bahasa sederhananya bangkrut.

Padahal, Zenius pernah menyandang perusahaan edutech pertama yang masuk ke top 10 startup di Indonesia. Penyebabnya? Zenius sendiri tidak menjelaskan secara detail alasan penutupan perusahaannya.

Tapi melihat kondisi sekarang di mana industri edutech di Indonesia semakin kompetitif, pemicunya adalah munculnya banyak pemain baru dan kuat seperti Ruang Guru dan platform edutech lainnya.

Kompetisi ini membuat Zenius harus bersaing lebih keras untuk menarik dan mempertahankan penggunanya. Alasan lainnya, Zenius sedang menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pendanaan tambahan atau investor baru untuk menjaga operasional dan pertumbuhan bisnis.

Ditambah, pada tahun 2020 Zenius sempat menggratiskan pembelajaran untuk mendukung proses belajar selama masa pandemi COVID-19, yang diakui juga merupakan fase berat karena berimbas ke bisnis.

Hingga akhirnya, pada tahun 2022 Zenius telah melakukan PHK pada sebagian karyawannya. Padahal, kalau mau dibilang, startup seperti Zenius yang membuat banyak bimbingan belajar offline dan toko buku tutup.

6. Gunung Agung

Salah satunya yang kena imbas dari masifnya edutech adalah toko buku Gunung Agung. Usai melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 350 karyawannya, PT GA 13, pemilik usaha toko buku Gunung Agung, mengumumkan menutup semua gerai miliknya di tahun 2023.

Pengumuman ini cukup mengejutkan karena toko buku ini kini berusia 70 tahun. Hanya tersisa beberapa gerai saja. Kemunculan platform e-commerce pun membuat banyak orang lebih memilih untuk membeli buku secara online dibanding datang langsung ke toko.

Ditambah, pesatnya perkembangan teknologi membuat banyak pecinta buku beralih dari membaca buku fisik ke buku digital. Karena alasan-alasan inilah, toko buku Gunung Agung sulit untuk bertahan di pasar.

Keadaan pun diperparah juga karena pandemi COVID-19 pada tahun 2020 yang membuat toko buku Gunung Agung tidak bisa bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulan yang semakin besar.

7. PT Nyonya Meneer

Bahkan yang sudah lebih lama dari toko buku Gunung Agung juga bisa tetap keok. Perusahaan ini adalah PT Nyonya Meneer. Berdiri selama 98 tahun, PT Nyonya Meneer dinyatakan pailit pada tahun 2017.

Semua orang pasti tahu produk-produk dari perusahaan ini. Pada tahun 1990-an, perusahaan mengalami perkembangan yang begitu pesat yang membawa nama Nyonya Meneer kian melambung di dunia peracikan jamu tradisional.

Sebenarnya, pada periode 1980-an, bisnis ini sempat dihantam prahara internal yang membuatnya goyah. Tapi setelah masalah itu selesai, bisnis jamu Nyonya Meneer kembali berjalan dengan lancar.

Hanya saja, perusahaan ini tetap tidak bisa mengembangkan manajemennya dalam menghadapi perubahan era. Sekarang sudah terjadi perubahan era, permintaan.

Pada akhirnya, berbagai perusahaan legendaris yang pernah berjaya di Indonesia harus menghadapi realitas keras dari perubahan zaman dan persaingan yang semakin sengit.

Mulai dari Sepatu Bata, Tupperware, JD.id, hingga Nyonya Meneer, semuanya menjadi bukti bahwa kesuksesan masa lalu tak menjamin keberlangsungan di masa depan. Fleksibilitas, inovasi, dan adaptasi terhadap tren yang terus berubah menjadi kunci utama untuk bertahan dalam industri yang semakin kompetitif.

Jika tidak, sebagaimana yang kita lihat, perusahaan sebesar apa pun bisa jatuh dan lenyap dari ingatan masyarakat.***

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *