Cerita ini dimulai di pagi yang cerah di sebuah dusun kecil yang terpencil. Di sudut sebuah warung pojok yang dipenuhi oleh wangi kopi manis berpadu dengan jajanan khas, tiga pria yang aktif dalam dunia politik setempat berkumpul.
Karangan Rahmawati Dewi
Mereka adalah Woyo, seorang lelaki tua yang telah merasakan banyak lika-liku politik desa, dan dua rekannya, Alek dan Sowan.
Pagi itu, obrolan dimulai dengan gemuruh kekecewaan yang dilontarkan oleh Woyo terhadap seorang calon lurah yang tengah mencalonkan diri.
“Calon lurah itu benar-benar tak pernah peduli untuk bersilaturahmi. Bagaimana mungkin orang mau memilihnya lagi?” keluh Woyo sembari membuka bungkus roti bertuliskan ‘Gepeng 1000 Rupiah’.
Woyo, yang sudah lama mengamati Kades Lorok yang kembali mencalonkan diri, merasa semakin marah karena merasa diperlakukan tidak adil oleh perangkat desa ketika dia berusaha membuat surat nikah.
Kekecewaan Woyo ini menjadi pusat perbincangan dalam obrolan pagi itu. Namun, Sowan berusaha menyelamatkan keadaan dengan memberikan perspektif yang lebih lembut.
“Mungkin benar, Pak Woyo. Namun, sebagai seorang kepala desa, mereka juga menghadapi berbagai tekanan yang kita tidak tahu. Terkadang, itu bukanlah pekerjaan yang mudah,” ucapnya sambil mencoba membela calon lurah.
Woyo hanya mengernyitkan keningnya. “Mungkin begitu, tapi seharusnya seorang kepala desa mampu menjalankan tugasnya tanpa masalah sepele seperti itu,” katanya dengan tekad.
Sementara itu, Alek, salah satu rekan mereka, merasa terganggu oleh komentar pedas Woyo. Dia merasa kesal ketika mengingat momen ketika dia berbicara dengan Kades Lorok dalam sebuah acara yasinan beberapa waktu yang lalu, merasa seperti Kades Lorok sedang mencemoohnya.
“Apa yang Anda katakan, Pak Woyo, itu aneh. Orang sudah tua dan sudah memiliki istri, mengapa dia masih ingin menikah lagi?” kata Alek, suaranya sedikit gugup.
Woyo tersenyum sinis. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang sejarah, Alek. Lebih baik kamu mendengarkan saja,” jawabnya dengan penuh keyakinan sambil mengernyitkan keningnya.
Namun, percakapan mereka mendadak terhenti ketika mata mereka tertuju pada seorang wanita cantik bernama Mba Risol, anak pemilik warung pojok.
Ia berjalan dengan langkah ringan dan anggun di sekitar warung tersebut, menggantikan obrolan politik yang tadi serius dengan kedatangan pesona alam yang lebih memikat.
“Srek srek srek srek,” suara langkah Mba Risol terdengar seperti melodi indah, mengiringi langkahnya, seperti iklan debat TV Umang-umang yang mempesona.
“E e e… Biyungalah,” gumam Woyo, matanya terpesona oleh kecantikan Mba Risol yang sedang melintas. Ketiga pria itu terdiam sejenak, mata mereka terpaku pada Mba Risol yang semakin menjauh.
Mereka tidak dapat menghindari pesona wanita itu meskipun telah terpisah jauh darinya.
Namun, Alek, yang akhirnya teringat akan pembelaannya terhadap Kades Lorok, dengan canggung mencoba mengalihkan perhatian mereka.
“Tapi menurut saya, Pak Lorok adalah kepala desa yang lebih baik daripada kepala desa sebelumnya. Setidaknya, bangunan jalan masih utuh,” ucap Alek, mencoba mengembalikan obrolan ke tema politik.
Di antara segelas kopi, pesona Mba Risol, dan perdebatan politik yang tak kunjung selesai, pagi itu menjadi sebuah kisah unik yang menggabungkan beragam nuansa, dari yang serius hingga yang menggoda, dalam sebuah dusun kecil yang sunyi.***
Editor: Hadi Jakariya
Tidak ada komentar