- Opini: Hadi Jakariya
Ada satu data yang bikin dada sesak waktu saya lihat. Dalam laporan ringkasan tahunan kekerasan terhadap perempuan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), disebutkan bahwa 60,1 persen kekerasan terhadap perempuan terjadi di rumah tangga.
Iya, rumah. Tempat yang mestinya jadi ruang paling aman. Tempat istirahat, bercanda dengan anak, atau sekedar duduk sambil nyeruput kopi atau teh. Tapi buat sebagian perempuan, rumah justru jadi arena paling menakutkan. Kekerasan terjadi bukan di jalanan gelap atau lorong sepi, tapi di ruang tamu, dapur, bahkan kamar tidur.
Yang bikin lebih miris, data itu juga mencatat tempat-tempat lain yang nggak kalah mengejutkan. Fasilitas umum menyumbang 10,6 persen kasus, sekolah 5,2 persen, dan bahkan di tempat kerja 1,6 persen. Masih ada 22,4 persen kategori “lainnya” yang bisa berarti apa saja, dari media sosial, tempat ibadah, sampai jalanan atau kendaraan umum.
Di antara semua itu, yang paling menggigit nurani saya tetap rumah tangga.
Bukan Cuma Soal Pelaku, Tapi Budaya
Pertanyaan besarnya, kenapa bisa? Jawabannya bukan satu. Tapi salah satu yang paling dominan adalah soal budaya. Kita masih hidup dalam masyarakat yang menganggap urusan rumah tangga adalah “aib” yang harus ditutupi. Perempuan sering diminta sabar. Bahkan ketika tubuhnya memar, hatinya robek, tetap saja diminta “mempertahankan rumah tangga”.
Baca Juga
Penanganan kekerasan nggak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan hukum. Iya, hukum penting. Tapi kita juga perlu intervensi budaya. Mulai dari pendidikan kesetaraan gender sejak kecil, ruang aman di komunitas, hingga regulasi yang memungkinkan perempuan bicara tanpa takut dihakimi.
Negara nggak boleh cuma hadir ketika perempuan sudah babak belur. Negara harus hadir sejak awal, lewat kampanye pencegahan, ruang aduan yang ramah, dan perlindungan hukum yang bisa dijangkau siapa saja, bahkan di desa-desa.
Gen Z Adalah Harapan yang Sedang Tumbuh
Di tengah semua kekalutan ini, saya cukup optimis dengan satu hal, yakni keterlibatan anak muda, khususnya Gen Z.
Saya lihat sendiri dalam forum-forum diskusi atau organisasi sosial, perempuan muda mulai bicara. Nggak lagi malu, nggak lagi takut. Mereka paham isu gender, mereka bersuara lewat media sosial, bahkan ikut mendampingi korban. Salah satunya seperti yang dilakukan AKRAP
AKRAP (Advokasi Kelompok Rentan, Anak dan Perempuan), yang belum lama ini saya tulis dalam sebuah artikel, baru saja menggelar rapat kepengurusan bareng anak-anak muda di Lampung Timur.
Langkah ini kelihatannya sederhana. Tapi di balik itu, ada harapan besar, bahwa perempuan nggak lagi sendiri. Bahwa kekerasan bisa dilawan, bukan dipendam.
Saatnya Semua Pihak Bergerak
Kalau negara hadir, masyarakat sadar, dan generasi muda bergerak, kita bisa bayangkan masa depan yang lebih baik. Masa depan di mana rumah benar-benar jadi tempat pulang yang nyaman. Bukan ladang ketakutan.
Karena sejatinya, melindungi perempuan bukan cuma tugas polisi, lembaga hukum, atau kementerian. Tapi tugas kita semua. Karena setiap perempuan berhak merasa aman. Bahkan terutama di rumahnya sendiri.
Ditulis oleh: Hadi Jakariya
Disunting oleh: Hadi Jakariya