JAKARTA – Lima anggota DPR RI dinonaktifkan oleh partai politiknya. Mereka adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai NasDem, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya) dari PAN, serta Adies Kadir dari Partai Golkar.
NasDem menyatakan alasan penonaktifan Sahroni dan Nafa karena dianggap menyampaikan pernyataan yang mencederai perasaan publik. “Bahwa dalam perjalanan mengemban aspirasi masyarakat ternyata ada pernyataan daripada wakil rakyat khususnya anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem yang telah menyinggung dan mencederai perasan rakyat, dan hal tersebut merupakan penyimpangan terhadap perjuangan partai NasDem,” demikian bunyi pertimbangan partai, dikutip Rabu (3/9/2025).
PAN juga mengambil langkah serupa terhadap dua anggotanya. “DPP PAN memutuskan untuk menonaktifkan Saudaraku Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Saudaraku Surya Utama (Uya Kuya) sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PAN DPR RI, terhitung sejak Senin, 1 September 2025,” kata Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga.
Golkar tidak ketinggalan. “Menonaktifkan saudara Adies Kadir sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, terhitung sejak Senin, 1 September 2025,” ujar Sekretaris Jenderal Golkar Ahmad Sarmuji.
Status Nonaktif
Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Nazaruddin Dek Gam, menyebut penonaktifan penting untuk menjaga marwah parlemen. Menurut dia, status nonaktif membuat anggota dewan tidak lagi bisa menjalankan fungsi dan fasilitasnya.
“Kalau sudah dinonaktifkan, artinya mereka tidak bisa lagi beraktivitas sebagai anggota DPR,” kata Nazaruddin.
“Dengan dinonaktifkan, otomatis mereka juga tidak bisa mendapatkan fasilitas ataupun tunjangan sebagai anggota DPR RI,” ujarnya.
Namun, istilah ini sebenarnya tidak dikenal dalam aturan DPR. UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hanya mengatur mekanisme pemberhentian, baik antarwaktu, sementara, maupun tetap.
Beda Nonaktif dan Pemberhentian
Dalam aturan, pemberhentian antarwaktu biasanya terjadi bila anggota meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan partai. Pemberhentian sementara bisa berlaku jika anggota menjadi terdakwa kasus pidana dengan ancaman minimal lima tahun penjara.
Sementara itu, istilah nonaktif lebih bersifat internal partai. Artinya, anggota DPR yang dinonaktifkan masih tercatat sebagai legislator dan tetap memperoleh hak keuangan, termasuk gaji dan tunjangan.
Biasanya status ini berlangsung selama tiga bulan dalam masa evaluasi. Jika dianggap layak, anggota bisa kembali aktif. Sedangkan pemberhentian tetap menghilangkan seluruh status dan hak anggota DPR, lalu digantikan lewat mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).
Dasar Hukum Pemberhentian
Dasar hukum pemberhentian anggota DPR mengacu pada UU MD3 dan peraturan DPR tentang kode etik serta MKD. Beberapa kondisi yang bisa membuat anggota diberhentikan antara lain:
Tidak melaksanakan tugas selama tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan;
Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
Terbukti bersalah lewat putusan pengadilan dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih;
Tidak menghadiri rapat enam kali berturut-turut tanpa alasan sah;
Diusulkan oleh partai politiknya;
Tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR;
Menjadi anggota partai lain.
Dengan demikian, istilah “nonaktif” yang dipakai partai berbeda dengan “pemberhentian” yang diatur undang-undang. Nonaktif lebih kepada sanksi internal, sementara pemberhentian memiliki konsekuensi hukum yang jelas.
Ditulis oleh: Hadi Jakariya
Disunting oleh: Hadi Jakariya