Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dirancang bukan sekadar untuk menghukum anak yang melanggar hukum, tetapi memberikan peluang untuk memperbaiki diri dan masa depan mereka.
Hal ini disampaikan Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Timur, Dr. Muhammad Rony, saat menjadi pemateri pada pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) di aula SMKN 1 Sukadana, Kamis 28 November 2024.
Pelatihan tersebut digelar oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3P2KB) Lampung Timur selama dua hari.
Dalam paparannya, Rony menjelaskan bahwa anak menurut SPPA adalah individu berusia 8 hingga 18 tahun. Sistem hukum yang diterapkan kepada anak-anak ini berbeda dengan orang dewasa.
“Misal ada anak diajak kawannya mencuri, anak itu belum tau apa sih akibatnya apabila dia melakukan pelanggaran hukum, jadi dia melakukan tindak pidana tanpa sepengetahuannya itu berbahaya untuk dirinya sendiri , makanya dibuatlah sistem peradilan pidana anak itu salah satu tujuannya,” ungkap Rony di hadapan 100 peserta pelatihan.
Rony menegaskan, sanksi bagi anak yang melanggar hukum tidak selalu berupa hukuman pidana seperti penjara. Ada dua jenis sanksi yang diterapkan, yaitu sanksi non-pidana dan pidana.
“Kalau untuk anak yang melakukan tindak pidana itu bukan hanya dihukum penjara, itu tidak, sangat sensitif sekali, kami para jaksa untuk melakukan penuntutan terhadap anak-anak, karena belum tentu kita tuntut, misalnya masuk ke dalam penjara ,belum tentu dia nanti pada saat keluar itu berubah menjadi lebih baik. Makanya dalam hukum yang sekarang tidak lagi melulu hukum seberat beratnya, tidak ,”terangnya.
Sebagai alternatif hukuman, Rony menjelaskan tentang penerapan Restorative Justice (RJ), yaitu penyelesaian perkara di luar jalur pengadilan. RJ ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan hak antara pelaku, korban, dan keluarga yang terlibat.
“Proses RJ melibatkan pelaku, korban, keluarga kedua belah pihak, serta pihak terkait. Misalnya, jika anak pelaku mencuri dan bersama orang tuanya meminta maaf kepada korban, dan barang curian masih ada, serta korban memaafkan, maka tidak perlu dilanjutkan ke proses pengadilan. Paradigma hukum kita sudah berubah, dari menghukum ke upaya pemulihan,” jelasnya.
Melalui pendekatan seperti ini, Rony berharap anak-anak yang tersandung masalah hukum bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk tumbuh menjadi individu yang lebih baik tanpa stigma negatif dari masyarakat.
“Jadi tidak perlu masuk proses kemudian ditahan ,dituntut ,ditahan lagi,dihukum lagi itu sudah bukan paradigma hukum yang ada di Indonesia, jadi sudah berubah. Dari menghukum orang seberat beratnya, tapi mengembalikan haknya ke masing-masing,”pungkasnya***
Editor: Hadi Jakariya