Suku Baduy, komunitas asli yang menetap di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, tetap menjadi salah satu suku yang paling teguh mempertahankan tradisi dan kearifan lokal.
Hidup berdampingan dengan alam, masyarakat Suku Baduy menunjukkan cara hidup yang berbeda dari kehidupan modern saat ini.
Tak heran, keunikan adat dan budaya Suku Baduy menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara untuk datang, sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk benar-benar menghormati adat istiadat yang ada.
Namun, banyak pengunjung yang datang ke Desa Kanekes tanpa pemahaman yang mendalam tentang Suku Baduy. Akibatnya, mereka tak selalu menyadari aturan ketat yang harus ditaati di sana.
Mengetahui dan menghormati kearifan lokal adalah hal mendasar yang penting bagi setiap pengunjung. Lalu, apa saja aturan adat yang perlu diketahui wisatawan sebelum memasuki wilayah Suku Baduy? Dikutip Freentalkcom dari laman Kemenparekraf/Baparekraf RI, berikut simak penjelasannya.
Hal pertama yang perlu dipahami oleh wisatawan adalah bahwa Suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok besar: Baduy Luar dan Baduy Dalam. Meski sama-sama berada di wilayah yang sama, Baduy Luar dan Baduy Dalam memiliki karakteristik yang sangat berbeda.
Baduy Luar adalah kelompok yang lebih terbuka terhadap pengaruh dari luar, baik dalam hal budaya maupun teknologi.
Mereka sudah berinteraksi dengan dunia luar, bahkan memiliki akses pendidikan dasar, dan menerima kehadiran wisatawan lebih fleksibel.
Di sisi lain, Baduy Dalam adalah kelompok yang sangat tertutup. Mereka menolak teknologi, menjaga keaslian adat, dan hidup jauh dari pengaruh luar.
Bagi wisatawan, memasuki wilayah Baduy Dalam memerlukan perjalanan sejauh 12 kilometer dari Baduy Luar, melintasi perkebunan dan sungai.
Sungai Cisimeut memisahkan kedua wilayah ini, dan mereka terhubung oleh jembatan yang terbuat dari akar pepohonan dan anyaman bambu, yang dikenal sebagai Jembatan Akar.
Struktur alami ini mencerminkan kebijaksanaan masyarakat Baduy Dalam dalam memanfaatkan kekayaan alam tanpa merusaknya.
Selain lokasi dan keterbukaan terhadap dunia luar, perbedaan lain yang terlihat adalah pakaian yang dikenakan oleh kedua kelompok ini.
Baduy Dalam memakai pakaian adat sederhana berwarna putih atau biru yang tanpa kancing dan kerah, serta dilarang mengenakan alas kaki. Sedangkan Baduy Luar menggunakan pakaian hitam dengan kain ikat kepala berwarna biru tua.
Memasuki wilayah Baduy di Desa Kanekes memang diizinkan, tetapi wisatawan wajib menaati aturan yang ada.
Salah satu larangan utama di wilayah ini adalah penggunaan teknologi. Semua perangkat elektronik, seperti ponsel, radio, laptop, dan kamera, dilarang digunakan terutama di wilayah Baduy Dalam.
Larangan tersebut terkait dengan keyakinan masyarakat Baduy yang sangat menghormati alam dan adat istiadat mereka. Penggunaan teknologi dianggap mengganggu kesucian lingkungan mereka.
Wisatawan juga dilarang mengambil foto di kawasan Baduy Dalam tanpa izin, dan bahkan disarankan untuk tidak membawa alat elektronik selama berada di sana.
Mengabadikan momen dengan sketsa dianggap lebih menghormati budaya setempat, dan menjadi cara alternatif yang dianjurkan bagi pengunjung.
Selain teknologi, penggunaan bahan kimia juga dilarang. Masyarakat Baduy tidak menggunakan sabun, sampo, pasta gigi, atau detergen dalam kehidupan sehari-hari karena percaya bahwa bahan kimia dapat merusak lingkungan.
Pengunjung pun diimbau untuk tidak membawa produk-produk berbahan kimia dan menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan.
Tindakan ini dianggap sangat tidak menghormati lingkungan mereka yang dijaga dengan ketat. Sampah plastik pun sebaiknya dibawa keluar dari kawasan Baduy untuk dibuang di tempat yang lebih tepat.
Selain larangan penggunaan teknologi dan bahan kimia, masyarakat Baduy sangat menghargai alam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka hanya menggunakan barang-barang alami, seperti bambu panjang sebagai pengganti gelas.
Wisatawan yang berkunjung diimbau untuk tidak mencabut atau menebang tanaman yang ada di kawasan ini. Tindakan ini bertentangan dengan prinsip masyarakat Baduy yang menjaga keseimbangan alam.
Tradisi perjodohan adalah salah satu adat yang masih dijalankan di Baduy Dalam, di mana seorang gadis dianggap dewasa saat berusia 14 tahun dan mulai dicari jodohnya oleh orang tua.
Ini merupakan bagian dari cara mereka menjaga keteraturan masyarakat, yang dijalankan di bawah panduan Pu’un, atau kepala adat, yang juga berperan dalam menentukan masa tanam, menerapkan hukum adat, dan mengobati yang sakit.
Puasa Kawalu, tradisi penting lainnya, dijalankan tiga kali dalam setahun selama tiga bulan. Selama periode Kawalu ini, kawasan Baduy Dalam tertutup bagi pengunjung yang bukan warga Baduy, dan wisatawan hanya diizinkan untuk berada di wilayah Baduy Luar.
Kearifan lokal dan keharmonisan yang tercipta antara manusia dan alam adalah daya tarik utama bagi wisatawan yang berkunjung ke Desa Kanekes.
Menjelajahi keunikan hidup sederhana ala Suku Baduy akan memberi pengalaman yang berbeda bagi siapa saja yang menghormati dan menghargai aturan adat yang ada.
Bagi mereka yang ingin menyaksikan langsung kehidupan yang jauh dari hiruk pikuk teknologi dan kehidupan modern, Baduy adalah tempat yang menawarkan kedamaian yang tidak ternilai.***
Editor: Hadi Jakariya
Sumber: Kemenparekraf/Baparekraf RI