Bagi anak-anak yang tumbuh di era 90-an, permainan di halaman rumah atau tanah berpasir sering dihiasi dengan kehadiran undur-undur. Hewan mungil ini identik dengan lubang corong kecil yang kerap dijadikan hiburan sederhana. Namun, di balik bentuknya yang terlihat tak berbahaya, undur-undur ternyata menyimpan sisi lain yang tak banyak diketahui: ia adalah predator mematikan bagi serangga kecil.
Undur-undur yang dikenal anak-anak sejatinya merupakan fase larva dari serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Tubuhnya gemuk, berjalan mundur, dan gemar bersembunyi di balik pasir.
Dari situlah asal nama “undur-undur”. Mereka tidak mengejar mangsa dengan kecepatan, melainkan menunggu dengan sabar di dalam perangkap pasir.
Dikutip dari unggahan video kanal YouTube Animals Scripts, berikut simak fakta hewan undur-undur yang belum banyak diketahui.
Membuat Sarang Jebakan
Larva undur-undur adalah arsitek ulung. Dengan menggali pasir atau tanah kering secara melingkar sambil bergerak mundur, mereka membentuk jebakan berbentuk corong.
Dinding corong dibuat curam sehingga serangga kecil yang melewati tepinya akan langsung tergelincir ke bawah.
Begitu mangsa jatuh, undur-undur menembakkan butiran pasir untuk menggagalkan upaya kabur. Rahang sabit berongganya lalu menjepit dengan cepat, menyuntikkan enzim pencerna yang melumpuhkan mangsa sekaligus menghancurkan organ dalamnya. Cairan tubuh yang sudah terurai kemudian dihisap, menyisakan cangkang kosong yang dibuang keluar dari lubang.
Hidup Lama di Bawah Pasir atau Tanah Kering
Fase larva merupakan bagian terpanjang dari kehidupan undur-undur. Mereka bisa bertahan 1 hingga 3 tahun hanya dalam wujud larva. Jika makanan berlimpah, larva tumbuh cepat dan berubah menjadi pupa. Namun bila mangsa jarang, mereka mampu memperlambat metabolisme, bahkan bertahan berbulan-bulan tanpa makan.
Adaptasi lain yang mengejutkan, larva undur-undur tidak memiliki anus berfungsi. Selama hidup di sarangnya, sisa metabolisme disimpan di dalam tubuh dan baru dikeluarkan saat berubah menjadi pupa. Hal ini membuat perangkap tetap bersih dan tidak memunculkan bau yang bisa memperingatkan mangsa.
Metamorfosis Jadi Imago
Setelah cukup lama menjadi larva, undur-undur masuk ke fase pupa dengan membuat kepompong dari pasir dan benang sutra. Proses metamorfosis berlangsung sekitar sebulan, mengubah tubuh gemuk larva menjadi serangga dewasa bersayap transparan yang sekilas mirip capung jarum.
Fase dewasa ini justru sangat singkat, hanya 2 sampai 4 minggu. Tujuan utamanya adalah kawin dan bereproduksi. Betina akan bertelur di tanah berpasir, melanjutkan siklus kehidupan yang sama seperti sebelumnya.
Peran dalam Ekosistem
Meski terlihat sepele, undur-undur memiliki peran penting dalam ekosistem. Larvanya membantu mengendalikan populasi semut dan artropoda kecil lain. Sementara aktivitas menggali pasir turut membantu sirkulasi udara di tanah.
Di sisi lain, undur-undur sendiri juga menjadi santapan bagi predator lain. Larva dimakan burung atau kadal, sedangkan serangga dewasanya yang terbang lambat kerap jadi mangsa kelelawar dan laba-laba.
Nostalgia Anak 90-an
Bagi anak-anak 90-an, undur-undur bukan sekedar hewan kecil. Pusaran di pasir maupun tanah kering dulu jadi hiburan khas, dari sekedar mengamati hingga mencoba mengorek larvanya. Permainan sederhana ini kini jarang ditemui di era digital, membuat generasi sekarang mungkin tidak lagi akrab dengan hewan unik ini.
Namun bagi mereka yang pernah merasakannya, undur-undur adalah bagian dari memori masa kecil yang penuh rasa penasaran.
Hewan mungil ini mengajarkan kesabaran sekaligus memperlihatkan keajaiban strategi bertahan hidup di alam.
Warisan Alam yang Perlu Dikenal
Undur-undur bukan hanya sekedar mainan anak 90-an. Di balik tubuh kecilnya, ia menyimpan kisah hidup yang dramatis, mulai dari larva yang ganas hingga imago yang anggun.
Fakta bahwa hewan mungil ini bisa menjadi predator mematikan menunjukkan betapa uniknya strategi alam.
Kini, meski semakin jarang terlihat, undur-undur tetap menjadi simbol kecil dari alam dan nostalgia masa lalu yang tak terlupakan.
Ditulis oleh: Atika Dian Trihatno
Disunting oleh: Hadi Jakariya
Atika Dian Trihatno